TUJUH
taon belakangan ini, terutama sejak taon 2005, sinetron remaja emang
makin membludak di layar televisi. Nggak sekadar tayang begitu aja,
karena man bayangin!, sinetron-sinteron itu ditayangin pada jam prime time
(antara pukul 18.30 sampe 21.00). Hmm, tau sendirikan, nggak sembarang
acara bisa nongol di televisi pada jam-jam segitu. Maklum, acara di jam prime time
jelas-jelas mendapat perhatian dan rating tinggi. Iklannya bejibun, dan
ditonton oleh banyak orang. Dan, nggak cuma di satu televisi doang.
Semua televisi (swasta) berlomba-lomba mengusung sinetron remaja silih
berganti dan nggak jarang berentetan sekaligus
Kalo mau dhitung jumlahnya, dalam sehari kita bisa melototin semua
sinetron itu lebih dari 25 biji! Dalam sehari! Uhuks! Catet guys!, itu
cuma sinetron tentang remaja doang belom ditambah dengan
sinetron-sinetron lainnya kayak sinetron ibu-ibu, sinetron silat, en
sinetron anak-anak. Hitungannya, itu aja kalo di setiap stasiun televisi
ada dua sinetron remaja setiap harinya. Padahal di beberapa stasiun
televisi jumlahnya bisa mencapai 3 atawa 4. Dalam seminggu sinetron
remaja bisa nongol 80 buah! (biasanya pas hari Ahad nggak begitu banyak,
paling cuma 1 dan itupun hanya di beberapa stasiun teve aja).
Mustinya, kita seneng dong dengan banyaknya tayangan yang
mengetengahkan kehidupan tentang kita sebagai pelajar dan remaja? Hmm,
itu dia, tunggu dulu! Ada yang ganjil dan ngaco tentang
sinetron-sinetron remaja itu.
Sobat, film (atawa sinetron) sebagai seni adalah salah satu bentuk
potret dari kebudayaan atawa realitas yang ada. Tapi apa bener begitu?
Di sinetron-sinetron tersebut, yang ada malah kontradiktif kayaknya.
Gimana nggak? Kalo Ente pernah (atau bahkan freaky) sinetron-sinetron
itu, bener-bener sangat jauh dari kenyataan yang kita jalani
sehari-hari. Bayangin aja, misalnya anak sekolah. Tau sendiri kan gimana
dandanan anak sekolah di sinetron. Rambut pake style terbaru—nggak
jarang dicat en di-punk segala (harajuku!), seragam udah nggak
karu-karuan. Baju udah nggak pernah deh dimasupin, rok perempuannya mini
banget. Aksesorisnya hmmm, bayangin aja kalung anjing aja bisa ada di
leher para pemerannya. Anting di kuping? Tindik? Hahh, itu sih udah
lazim banget! Brur, apa udah sebegitu parahnya dandanan kita-kita ini?
Kayaknya nggak deh! Seburuk-buruknya para pelajar di Jakarta sekalipun,
belom ada kayaknya yang kayak gitu.
Miris en jengkel aja bawaannya. Kayaknya tuh sinetron pengen banget
nunjukkin kalo kita tuh pelajar zaman kiwari songong-songong en nggak
punya etika. Sesuatu yang sesungguhnya jauh panggang dari api! Alias
boong besar!
Seperti tadi dibilangin, emang di sinetron-sinetron itu nggak ada
faedah-faedahnya, emang bener! Apa yang mau diliat coba? Dari segi
cerita, ancur abis. Sangat nggak masup akal! Coba aja liat skenarionya.
Ada seorang pemuda yang sakti mandraguna banget, bisa mengubah-ngubah
wajahnya menjadi kayak apa aja yang dimau hingga banyak digila-gilai
cewek. Modalnya cuma sebuah cincin doang. Ada juga ikan yang sakti yang
bisa nolongin si jagoan utama. Ada juga anak miskin yang jadi kaya
karena bantuan dari dunia ghaib. Walah-walah, bisa bikin hati pegel!
Pada dasarnya hanya ada tiga yang menjadi tema besar tuh
sinetron-sinetron cupu. Pertama yang pasti dan jadi menu andalan,
tentang seks. Seks bebas yang kecil-kecilan maupun dalam porsi yang
besar. Ini kayaknya menjadi agenda utama dan musti ada di semua
sinetron. Dengan alasan modern en anak gaul, karakter-karakter yang ada
di sinetron itu enteng aja membawa permasalahannya ke permukaan. Heran
dah, anak sekolah kok kerjaannya musti ajaaaa mikirin tentang cowok atau
cewek pacarnya. Kayak nggak ada persoalan laen yang lebih bergizi gitu!
Emang di seusia kita, ketertarikan lawan jenis lagi
ngejedar-ngejedarnya, tapi kok ya masak sih hidup kita ini cuma dipake
buat mikirin cinta yang jahil abis begitu?
Menu yang kedua, kriminal. Ampir nggak ada di sinetron-sinetron ini
yang nggak berbau kejahatan. Ada tokoh yang jahatnya minta ampun, ibu
tiri yang kejam, saudara kandung yang penuh dengki, dan lain sebagainya
yang semuanya ngegambarin dunia ini is so severe! Yang bikin
ngeri, semuanya itu diberi solusi instan yang efeknya bener-bener nggak
manusiawi: dihabisin atawa dibunuh! Hahhh!!!
BRUR, nggak usah heran kalo sebenernya fenomena sinetron remaja
sekarang ini cenderung berorientasi ke arah popularitas dan materi
semata. Akbibatnya, hasil pesan yang disampein tuh filmnya jadinya
jelas-jelas nggak kreatif. Artinya, hampir nggak ada pesan sosial yang
berarti. Sebaliknya hanya sekadar menampilkan kehidupan remaja terutama
di kota-kota besar, di mana pesan yang ingin disampein kepada penonton
cenderung hanya bersifat menghibur en memancing emosi remaja yang
imitasi, yang palsu.
Guys, kenapa semua ini terjadi? Minimal ada empat unsur yang
mempengaruhi fenomena di atas. Pertama, dari sisi pelaku. Baik artis,
sutradara, maupun para pelaku sinetron punya fikroh (paham)
Barat berupa kebebasan berekspresi yang bersumber dari demokrasi. Mereka
beranggapan, kalo nggak ngerugiin orang lain dan nggak melanggar HAM,
apa urusannya? Mereka juga beranggapan, semua yang mereka lakukan itu
adalah seni.
Alasan kedua adalah bisnis (faktor ekonomi). Mereka melakukan semua
itu demi uang, tanpa peduli apakah yang dilakukannya itu mau halal atau
haram kek, apakah berakibat buruk atau baik bagi masyarakat, what the heck!
Ini sebenernya sebanding dengan hukum ekonomi itu sendiri. Pernah nggak
sih kepikiran, kenapa sinetron-sinetron itu malah menjamu dan makin
banyak? Itu karena ada yang beli. Ada yang nonton. Lantas, siapa yang
nonton, siapa kalo bukan remaja-remaja seumuran kita—dan jangan-jangan
bisa jadi kita juga malah ikutan nonton.
Alasan ketiga, karena kitanya diam. Kita sebagai masyarakat nggak
bereaksi apapun terhadap sinetron-sinetron yang nggak punya harga diri
itu. Kita hafal bagnet kalo para penggagas ide kebebasan berekspresi dan
berperilaku itu biasanya berlindung di balik jargon demokrasi. Ketika
mereka menyuguhkan pornografi atau pornoaksi, mereka cukup berkata,
“Biarlah masyarakat yang menilai, karena masyarakat sekarang sudah
dewasa.” Nah, celakanya, meski sebagian besar masyarakat (en kita juga)
nggak setuju terhadap fenomena di atas, malah cenderung diam aja. Nggak
protas-protes, lewat sekadar telefon ke televisi yang bersangkutan
ataupun nulis surat pembaca di media massa gitu. Kalo sering digituin,
percaya dah, tuh orang-orang lama-lama bakalan jadi keder juga.
Jangankan melakukan aksi menentang keberadaan fenomena di atas,
sekadar berkomentar dengan nada sinis saja nggak bisa. Sikap diam kita
ini bisa dijadikan pembenaran oleh penggagas ide sesat di atas sebagai
’tanda setuju’ terhadap apa yang mereka lakukan, karena nggak ada protes
apalagi pemboikotan.
Dan alasan yang terakhir neh, dukungan pemerintah. Pemerintah, secara
sadar ataupun nggak, justru menjadi pendorong utama bagi
tumbuh-suburnya “penyimpangan” sinetron di atas. Gimana nggak?
Pemerintah udah mengadopsi demokrasi dan HAM sebagai mainstream (arus
utama) dalam menata negeri ini. Sebagaimana kita ketahui, yang menjadi
alasan utama para penggagas dan pelaku penyimpangan sosial di atas
adalah demokrasi dan HAM. Dari sinilah kita bisa mengerti mengapa
pemerintah nggak bisa melarang bahkan menghapus praktik-praktik sesat di
atas.
Bos, sekarang neh, semuanya mulai berada di tangan kita. Akankah
kita jadi penikmat sejati sinetron amburadul di televisi yang nggak
punya harga diri sama sekali nyatain perang sama sinetron Indonesia yang
nggak punya gizi? [islampos]